Jujur, hidup berdampingan itu susah. Bahkan di rumah saja, rebutan colokan bisa memicu perang saudara.
Belum lagi kalau nonton bareng:
Satu mau drama Korea—yang lain bilang, “Astagaaaa, lagi-lagi cowoknya amnesia!”
Yang satu mau anime, yang lain bilang, “Kenapa karakter rambutnya warna ungu tapi nggak pernah ke salon?”
Kalau hal sereceh ini saja bisa bikin retak hubungan, bayangin kalau beda agama, beda keyakinan, beda cara makan bakso.
Ada yang makan pakai kecap—ada yang bilang itu kriminalitas kuliner.
Dan di tengah keributan itu…
Datanglah Buddhisme, sambil duduk tenang, bawa teh panas, pasang senyum lembut, terus bilang:
“Tenang saja… segala sesuatu itu anicca… bahkan amarahmu.”
1. TOLERANSI ITU BUKAN STIKER MOTIVASI, BRO
Toleransi itu bukan ditempel di dinding, difoto, terus di-post dengan caption bijak, “Spread Love Not Hate.”
Habis itu marah-marah di komentar orang lain.
Toleransi dalam Buddhisme itu real work:
-
Menahan lidah saat mau membalas komentar pedas.
-
Menurunkan ego saat merasa paling benar.

-
Dan kadang, mengakui bahwa pendapat orang lain juga masuk akal (meskipun terasa pahit seperti jamu).
Di Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha bilang:
“Semoga semua makhluk berbahagia.”
Bukan:
“Semoga semua makhluk berbahagia… kecuali mantan yang ghosting dan orang yang gasuka kecap di bakso.”
2. ZEN OF TOLERANCE: KETIKA KEDAMAIAN ITU BUKAN TARGET, TAPI PROSES
Banyak orang salah paham.
Mereka pikir toleransi adalah pencapaian, kayak badge “Congratulations, You Are Now a Tolerant Human Being!”
Padahal toleransi itu latihan harian:
Seperti meditasi—
hari ini tenang, besok gelisah karena sebelah rumah nyetel dangdut jam 5 pagi.
Hari ini damai, besok panas karena internet lemot padahal mau meeting.
Hari ini welas asih, besok kesel karena ada yang bilang, “Buddhisme itu agama yang nyembah patung, kan?”
Zen mengajarkan:
“Lihat segala sesuatu apa adanya.”
Kalau ada orang beda pendapat, lihat saja:
“Oh… ini manusia. Masih belajar. Sama-sama belum tamat.”
Toleransi itu bukan usaha membuat semua orang sama.
Toleransi itu menerima bahwa perbedaan adalah default setting dunia.
3. KENAPA TOLERANSI ITU PENTING, TAPI KENAPA PEMUDA SERING KEPIKIRAN UNTUK MENYERAH?
Karena dunia sekarang chaotic:
-
Satu postingan bisa bikin perang komentar.
-
Satu potongan video bisa bikin satu kota ribut.
-
Satu opini bisa dianggap ancaman nasional.
Pemuda Buddhis berdiri di tengahnya, bawa bekal:
-
Metta (cinta kasih)
-
Karuna (belas kasih)
-
Upekkha (keseimbangan batin)
Tapi kadang bekal itu rasanya kurang kuat untuk menghadapi netizen yang hobinya debat tanpa jeda napas.
Makanya kita perlu humor, butuh mindfulness, butuh mode Zen, dan sedikit sarkasme sehat untuk bertahan.
4. PERBEDAAN ITU BUKAN HAMBATAN—ITU KATALIS BELAJAR
Di dunia yang semakin berisik, kita sebenarnya lupa satu hal:
Perbedaan itu guru yang menyamar.
Bayangin kalau semua orang sama:0
Semua suka warna biru. Semua makan mie instan rasa ayam bawang. Semua percaya hal yang sama.
Dunia bakal berasa kayak fotokopi hitam putih—flat, hambar, dan membosankan.
Buddhisme itu lahir dari pengamatan terhadap kehidupan, bukan dogma.
Sang Buddha mengajarkan memahami, bukan menghakimi.
Karenanya, pemuda Buddhis sebenarnya punya “senjata damai” yang kuat:
-
kebijaksanaan dalam melihat realitas,
-
keberanian untuk berdialog,
-
dan kemampuan untuk tertawa di tengah kesalahpahaman.
5. TOLERANSI ITU DIMULAI DARI HAL KECIL, SEPERTI…
-
Tidak marah kalau teman beda pilihan politik.
-
Tidak terkejut kalau ada orang percaya hal yang berbeda.
-
Tidak tersinggung kalau orang salah mengucapkan “Namo Buddhaya” jadi “Namaste Buddha ya?”
-
Tidak clapback setiap provokasi online.
Karena toleransi bukan aksi besar yang heroik.
Toleransi adalah rangkaian mikro-aksi sehari-hari, yang kalau dikumpulkan bisa menyelamatkan dunia.
Seperti kata dalam Dhammapada:
“Kemenangan melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Mereka yang bijaksana memilih kedamaian.”
6. ZEN OF TOLERANCE: MEMBAWA DAMAI TANPA PERLU BERDRAMA
Kedamaian bukan berarti tidak ada konflik.
Zen mengajarkan:
Kedamaian adalah kemampuan tetap jernih meski dunia lagi loading 3%.
Toleransi adalah skill.
Butuh latihan.
Butuh gagal.
Butuh ulang lagi.
Tapi pemuda Buddhis punya modal besar:
hati yang mau belajar, pikiran yang mau terbuka, dan humor yang bisa mencairkan tegangnya dunia.
Toleransi, dalam versi paling jujur, sebenarnya bukan kemampuan suci yang langsung muncul begitu kita selesai meditasi lima menit sambil memutar musik hujan. Toleransi adalah seni bertahan hidup di dunia yang kadang absurd: dunia di mana orang bisa berdebat tiga jam tentang sambal, tapi lima menit sudah capek bicara soal kemanusiaan. Di tengah absurditas ini, pemuda Buddhis kadang seperti tokoh anime yang baru sadar memiliki kekuatan batin—tapi masih bingung cara pakainya. Kita tahu konsep Metta, kita hafal ajaran “semua makhluk ingin bahagia”, tapi begitu ada orang nyinyir di komentar, seketika mindfulness kita hilang seperti tabungan waktu beli gadget.
Namun justru di situlah Zen masuk, bukan sebagai mantra, tapi sebagai realita: bahwa hidup ini bukan untuk dimenangkan, tapi untuk dipahami. Zen mengajarkan kita untuk tidak terlalu percaya pada pikiran pertama yang muncul—apalagi kalau pikiran itu semacam, “Ini orang harusnya uninstall internet deh.” Pikiran itu muncul, ya sudah. Lewatkan. Seperti angin, bukan undangan rapat. Karena ketika kita tahu bahwa setiap emosi itu hanya tamu, kita akan berhenti mengizinkan tamu itu ngerusuhin ruang tamu batin kita. Filosofinya sederhana tapi pedas: Kadang yang bikin kita marah bukan kenyataannya… tapi ekspektasi kita bahwa dunia harus sesuai selera pribadi.
Lalu lucunya, pemuda zaman sekarang sering dituduh “generasi baper”. Padahal kadang yang baper itu bukan generasinya—tapi egonya. Kita bukan anti kritik, kita hanya capek menghadapi kritik yang bentuknya lebih mirip lemparan sandal. Buddhisme mengingatkan bahwa perbedaan adalah hukum alam—dhamma. Bukan bug sosial yang harus diperbaiki. Dengan memahami ini, kita menyadari bahwa setiap perbedaan sebenarnya adalah jendela baru. Kalau semua orang punya keyakinan yang sama, sudut pandang yang sama, isi kepala yang sama… dunia ini akan jadi seminar motivasi 24 jam—ramai tapi membosankan.
Dan sarkasme alam semesta ini adalah: semua orang ingin dihargai, tapi sedikit yang mau menghargai. Semua ingin dimengerti, tapi tidak banyak yang mau mendengarkan. Toleransi dalam Buddhisme memaksa kita melihat bahwa dunia tidak pernah beroperasi berdasarkan keinginan kita pribadi—dunia berjalan apa adanya, bukan apa maunya ego. Di titik inilah pemuda Buddhis harus bermain: bukan sebagai superhero yang menyelesaikan konflik, tapi sebagai manusia sadar diri yang hadir utuh. Kita tidak perlu memenangkan semua debat; kita hanya perlu memastikan diri tidak kalah dari pikiran sendiri.
Pada akhirnya, Zen of Tolerance itu bukan teori tinggi. Ia adalah praktik sunyi dalam kehidupan sehari-hari: menahan komentar saat sedang emosi, memberi ruang bagi orang lain untuk berbeda, mengakui bahwa kita semua masih proses, dan sesekali menertawakan diri sendiri agar tidak meledak. Toleransi bukan tugas moral yang megah; ia adalah kebijaksanaan yang tumbuh perlahan. Dan di setiap penerimaannya, kita sebenarnya sedang membangun dunia kecil yang lebih damai—dari dalam kepala kita sendiri terlebih dahulu.










