Makassar, 10 Desember 2024 – Seminar nasional bertema “Semangat Deklarasi Istiqlal untuk Resolusi Konflik: Perspektif Agama-agama” diadakan di Ruang Senat Rektorat UIN Alauddin Makassar, menghadirkan pembicara lintas agama untuk membahas isu penting dan mendesak yaitu krisis kemanusiaan dan krisis lingkungan.
Ketua Permabudhi Sulawesi Selatan, Dr. Ir. Yonggris, M.M., menjadi salah satu pembicara utama, yang menyampaikan gagasan mendalam terkait deklarasi ini. “Ini adalah momen sejarah dalam perjalanan keagamaan Indonesia, ini adalah jalan kemanusian menuju keharmonisan. Bukan hanya harmonis manusia dengan manusia tapi juga keharmonisan manusia dengan alam.” Pungkasanya memulai pemaparan.
“Deklarasi Istiqlal adalah pengingat bahwa praktik beragama harus memadukan nilai-nilai kemanusiaan dan pelestarian alam,” ujar Dr. Yonggris. Ia menekankan bahwa krisis kemanusiaan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman serius yang membutuhkan respons bersama dari seluruh komunitas agama.
Dalam paparannya, Dr. Yonggris menyoroti paradoks kehidupan modernis. “Di satu sisi, sensitivitas kemanusiaan semakin tinggi, tetapi di sisi lain konflik dan peperangan terus meningkat. Begitu pula dengan kesadaran melindungi alam yang makin kuat, namun kerusakan lingkungan tak kunjung berhenti,” jelasnya. Ia menyerukan perubahan pola pikir dari ego-sentris menuju eco-sentris, di mana keberlanjutan hidup menjadi prioritas utama.
Dr. Yonggris juga menyerukan aksi nyata dalam melestarikan lingkungan bisa dimulai dari rumah-rumah ibadah. “Reboisasi, pengelolaan sampah, dan pengurangan emisi karbon adalah contoh konkret yang dapat kita lakukan untuk menjaga keseimbangan alam,” tegasnya.
Gagasan ini mendapat dukungan dari Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Hamdan Juhannis, yang menambahkan konsep introspeksi ekologis. “Kalau Pak Yonggris berbicara eco-sentris, saya eco-stropektif. Deklarasi ini mengingatkan kita untuk menjaga alam demi generasi mendatang. Saya menyebutnya sebagai eco-stropektif, introspeksi terhadap apa yang telah kita lakukan terhadap lingkungan,” ujarnya.
Dalam konteks agama Buddha, Dr. Yonggris menggarisbawahi keselarasan nilai-nilai Deklarasi Istiqlal dengan prinsip welas asih (metta-karuna), kebijaksanaan (panna), dan saling ketergantungan (patticcasamupada). “Agama harus menjadi kekuatan untuk kebaikan bersama, bukan untuk memperdalam konflik,” tambahnya.

Diskusi dalam seminar ini juga menekankan pentingnya kerja sama lintas agama. “Deklarasi Istiqlal adalah ajakan untuk melampaui batas doktrin demi menyelesaikan masalah global bersama-sama,” ungkap Dr. Nurman Said, akademisi UIN Alauddin Makassar. Hal ini juga sejalan dengan Pdt. Dr. Lidya K. Tandirerung yang menambahkan, “Dialog adalah jembatan untuk membangun harmoni di tengah perbedaan.”
Seminar ini menjadi langkah persiapan menuju Bali Interfaith Movement 2024 yang akan diadakan pada 14-15 Desember. Prof. Muhaimin, Dekan Fakultas Usuluddin UIN Alauddin, menekankan pentingnya peran akademisi dalam merumuskan rekomendasi berbasis nilai-nilai lintas agama. “Kampus adalah tempat strategis untuk menciptakan gagasan besar yang berdampak global,” ujarnya.



Dr. Yonggris menegaskan bahwa Deklarasi Istiqlal bukan hanya sekadar dokumen, melainkan tonggak sejarah yang dapat mempererat harmoni manusia dengan sesama dan alam. “Deklarasi ini adalah wujud harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana kerja sama lintas agama menjadi kunci menciptakan dunia yang berkelanjutan,” katanya.
Ia mengusulkan agar semangat Deklarasi Istiqlal diperingati setiap tanggal 5 September, sehingga nilai-nilainya tetap hidup di masyarakat. “kalau didalam isi deklarasi Abu Dhabi itu bagaimana untuk mempererat persaudaraan. Semangat itu diperingati setiap 4 Februari sebagai hari persaudaraan Internasioanal, di deklarasi istiqlal, saya lihat deklarasi ini untuk kehidupan manusia – manusia dan lingkungan hidup,” Sambungnya.
Ia menutup paparannya dengan ajakan kepada semua pihak untuk menanamkan nilai-nilai deklarasi ini dalam kehidupan sehari-hari. “Semangat ini harus terus hidup sebagai panduan dalam menghadapi tantangan global, baik dalam hubungan manusia maupun dalam pelestarian alam,” pungkas Dr. Yonggris.