Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan turut hadir sebagai penanggap dalam lokakarya bertajuk “Exploring Religious Principles to Reduce Suffering During Armed Conflict and Enhance Respect for International Humanitarian Law”.
Workshop ini diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bosowa bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) Indonesia, Kamis (28/8/2025).
Kegiatan yang berlangsung di ruang rapat Senat Universitas Bosowa lantai 9 ini mempertemukan akademisi lintas kampus dan tokoh lintas iman untuk menelaah relevansi nilai-nilai keagamaan dengan hukum humaniter internasional (HHI).
Forum ini menjadi ajang refleksi bersama mengenai bagaimana agama, yang kerap dianggap pemicu konflik, justru memiliki potensi besar sebagai sumber solusi kemanusiaan.
Ketua Permabudhi Makassar, Suzanna, S.E., yang hadir mewakili, menegaskan bahwa agama masih memiliki peran penting dalam meredam konflik.
“Integrasi nilai-nilai agama adalah fondasi untuk membangun perdamaian dan keharmonisan. Pendekatan agama tetap relevan untuk mencegah konflik hari ini. Agama tidak selalu harus dilihat sebagai akar masalah, sebaliknya, ia adalah sumber kasih sayang dan persatuan,” ucapnya.
Pandangan itu senada dengan Dr. M. Taufan B., S.H., M.Ag., M.H., dosen UIN Datokarama Palu sekaligus mantan Direktur IMMIM Makassar. Ia menekankan rapuhnya hukum internasional jika tercerabut dari akar religius.

“Jika hukum internasional lumpuh, maka kehancuranlah yang menanti. Agar hukum internasional ditaati, ia harus kembali berpijak pada norma-norma religi. Delapan puluh persen dari delapan miliar manusia di dunia mengaku beragama, dan sebagian pelaku konflik adalah pemeluk agama,” katanya.
Sementara itu, Agussalim Burhanuddin, S.IP., MIRAP., dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, menyoroti wajah ganda agama dalam politik. Menurutnya, ketika agama dipolitisasi, konflik mudah muncul, sebab agama dapat menjadi komoditas politik sekaligus dasar perdamaian.
“Agama sering dijadikan alasan kekerasan politik. Religion menjadi identity market. Saat identitas seseorang terusik, ia bisa berujung pada kekerasan. Namun di sisi lain, agama juga menawarkan jalan damai karena ajarannya mengandung kebaikan. Dialog menjadi pendekatan penting untuk meredam potensi konflik,” jelasnya.
Dari perspektif teologi, Pdt. Dr. John C. Simon, M.Th., M.Hum., dari STFT INTIM Makassar mengusulkan gagasan teologi pelukan ala Miroslav Volf.
“Konflik yang melahirkan kekerasan dan penderitaan adalah bentuk pengasingan. Rekonsiliasi, menurut Volf, dilakukan melalui teologi pelukan. Dalam relasi itu, korbanlah yang selalu mengampuni pelaku,” ujarnya.
Novriantoni Kaharudin, Lc., M.Si., Global Affairs Program Manager ICRC Jakarta, turut menyinggung tafsir Buya Hamka tentang aturan perang. Ia menilai hubungan agama dan hukum humaniter internasional selalu dinamis.
“Hukum humaniter internasional memang tidak secara eksplisit menyebut nilai agama, tetapi ia mengangkat nilai kemanusiaan yang sangat dekat dengan agama. Agama bisa menjadi instrumen perdamaian, namun juga dapat memicu konflik ketika dipolitisasi,” terangnya.
Lokakarya ini menegaskan paradoks peran agama: di satu sisi bisa menjadi pemantik perang, di sisi lain memiliki daya rekonsiliasi.
Kehadiran Permabudhi Sulsel memberi penekanan pada sisi kedua, bahwa agama jika ditempatkan pada esensi kasih sayang dan kemanusiaan akan mampu menegakkan hukum humaniter sekaligus membuka jalan menuju perdamaian.






