Memperingati Hari Toleransi Internasional yang jatuh setiap 16 November, Dr. Ir. Yonggris., M.M Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan menyampaikan refleksi mendalam mengenai urgensi merawat toleransi di tengah dunia yang kian rentan terpecah.
Menurutnya, kondisi global menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan: semakin mudah tersulut konflik, semakin sulit menerima perbedaan, dan semakin menipis rasa kebersamaan. Ia menyoroti paradoks perkembangan teknologi yang seharusnya mendekatkan manusia, namun justru sering memperlebar jurang perbedaan.
“Kita memasuki fase di mana informasi begitu deras, tetapi pemahaman semakin dangkal. Identitas, pandangan politik, keyakinan, hingga cara hidup menjadi pemicu jarak antarkelompok,” ujarnya. Toleransi, lanjutnya, bukan soal menyeragamkan atau memaksa orang lain menjadi seperti kita, melainkan kemampuan menerima keberagaman tanpa merasa terancam.
Ketua Permabudhi Sulsel mengaitkan refleksi ini dengan ajaran Buddha yang menegaskan bahwa semua makhluk ingin berbahagia dan takut akan penderitaan. Baginya, perbedaan yang tampak di permukaan tidak lebih dalam ketimbang kesamaan hakikat manusia sebagai sesama makhluk yang ingin dihargai dan hidup damai.
“Perdamaian dunia selalu bermula dari pikiran yang damai. Toleransi lahir dari kesediaan melihat manusia lebih dulu sebelum labelnya,” katanya.
Ia berharap momentum Hari Toleransi Internasional dapat menumbuhkan kesadaran baru di tengah masyarakat. Bukan lebih banyak perdebatan tentang siapa yang paling benar, melainkan lebih banyak hati yang mau mendengar, memahami, dan menerima. Refleksi itu ditutup dengan salam universal dalam tradisi Buddhis, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata — semoga semua makhluk berbahagia.






