Sebuah langkah penting dalam memperkuat moderasi beragama di Sulawesi Selatan telah diresmikan melalui peluncuran proyek perubahan bertajuk LEMPU (Toleran, Moderat, Adaptif, Unggul), (30/10/24).
Proyek ini diprakarsai oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulsel, H. Muh. Tonang, sebagai bagian dari upaya Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Kementerian Agama RI.
Di hadapan para peserta dan tokoh-tokoh penting, proyek ini diluncurkan secara daring oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Ali Ramdani.
LEMPU bukan sekadar proyek perubahan, melainkan implementasi dari falsafah Bugis yang mengutamakan kejujuran, keharmonisan, dan toleransi.
Menurut Prof. Ali Ramdani, konsep ini tak hanya berakar pada nilai-nilai lokal, tetapi juga membawa pesan universal yang relevan untuk seluruh bangsa Indonesia.
“LEMPU memberikan nilai-nilai universal seperti toleransi dan keunggulan, yang bisa menjadi pedoman seluruh bangsa,” ujar Prof. Ramdani dalam sambutan virtualnya.
Muh. Tonang menjelaskan bahwa LEMPU adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur masyarakat Bugis. Proyek ini diharapkan dapat menjadi fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih rukun di tengah perbedaan, serta mendorong terciptanya kesalehan sosial.

“Kami ingin masyarakat Sulsel tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan saling menghargai,” kata Tonang.



Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan turut hadir mewakili majelis agama Buddha, Permabudhi Sulsel selalu berkomitmen pada upaya-upaya mencipta dan merawat kerukunan, dalam hal ini mendukung penuh program LEMPU.
Peluncuran LEMPU bukan hanya tentang memperkenalkan sebuah konsep baru. Proyek ini juga membawa napas panjang dari perjuangan yang telah dimulai sejak empat dekade lalu oleh para tokoh moderasi di Sulawesi Selatan, termasuk Habib Syekh Sayyid Abd Rahim Puang Makka, seorang mursyid tarekat Khalwatiyah dan Dr. Yonggris, seorang tokoh Buddhis yang turut membangun Forum Umat Beragama (FUB) sejak tahun 1980.
Puang Makka, dalam testimoninya, menceritakan bagaimana FUB dibangun bersama rekan-rekannya seperti Anthon Obey, Ishak Melia Jeratan, Prof. Dr. Salifutuhena, Kh. Abdurrahman, Pak Ketut, Dr. Yonggris dan Arlan Cahyadi.
“Dulu kita jalan sendiri Pak Tonang, tidak ada yang melirik kita, semua instansi pemerintah gak ada yang melirik kita,” ungkapnya.
Ia mengenang masa-masa ketika mereka harus menggunakan mobil pinjaman, menempuh perjalanan jauh ke daerah-daerah terpencil, termasuk ke Toraja, untuk menyebarkan pesan moderasi dan persatuan.
“Tidak ada yang melirik kita, tapi kita tetap teguh, kita jalan kadang mobilnya pak yonggris di pakai, atau mobilnya pak anthon obey kita pakai, tapi itulah kegiatan-kegiatan ketulusan kami untuk melihat Sulawesi Selatan ini, bangsa ini menjadi satu bangsa yang kuat dan menyatu,” tambahnya.
Setelah 44 tahun, Puang Makka melihat LEMPU sebagai perwujudan dari doa-doa panjang mereka. Ia berharap proyek ini bukan hanya sebatas seremonial, tetapi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“44 Tahun doa kami terkabul nanti pada hari ini, kami menyaksikan LEMPU digagas, mudah-mudahan apa yang disampaikan oleh Pak Sekjen tadi itu bukan hanya dalam batas, dalam gedung ini saja tapi ada implementasinya diluar ,” tegasnya.
Puang Makka juga menyoroti pentingnya peran Kementerian Agama dalam menjaga moderasi beragama sebagai pilot project. Menurutnya, jika kementerian tidak serius dalam menjalankan program ini, masa depan bangsa bisa terancam.
“Jantungnya ada di Kementerian Agama, kalau Kementerian Agama tidak fokus membangun moderasi beragama. Saya tidak tau mau jadi apa bangsa ini kedepan,” ujarnya.
Di sisi lain, Dr. Yonggris, yang juga menjadi salah satu pionir moderasi di Sulawesi Selatan, menceritakan betapa sulitnya membangun fondasi moderasi pada masa-masa awal. Mereka harus bekerja tanpa dukungan instansi resmi, bahkan banyak yang baru bergabung setelah pensiun.
“Waktu itu, kami bergerak dengan keterbatasan, tetapi ketulusan hati selalu menjadi penggerak utama,” ujar Yonggris.



Melalui pengalaman panjang ini, baik Puang Makka maupun Dr. Yonggris sepakat bahwa moderasi beragama harus disebarkan secara lebih luas. Mereka mendesak agar ASN Kementerian Agama memahami secara mendalam pentingnya moderasi beragama.
“ASN harus paham, menghayati, dan melaksanakan moderasi beragama dalam setiap langkah mereka,” kata Puang Makka.
Puang Makka juga mengkritik beberapa sekolah, pesanteran dan institusi pendidikan lainnya yang masih enggan mengibarkan bendera Merah Putih atau bahkan tidak hafal lagu Indonesia Raya.
“Ini sangat menyedihkan, kenapa? sebab ini ada kesatuan antara nation kita, bangsa kita dan hubungan kita dengan tuhan. Kalau kita tidak bina ini, kalau tidak ada persatuan dan kesatuan di masyarakat, kita tidak bisa beragama dengan baik,” Tegasnya.
Bagi Puang Makka, agama tanpa cinta kasih hanya akan melahirkan kebencian dan perpecahan. Moderasi beragama, menurutnya, adalah kunci untuk menjaga harmoni dan persatuan bangsa.
Dengan peluncuran LEMPU, perjuangan 44 tahun yang telah dirintis oleh para tokoh moderasi Sulawesi Selatan kini mendapatkan nafas baru. Mereka berharap bahwa nilai-nilai spirit lokal, toleransi, kejujuran, dan cinta kasih yang terkandung dalam LEMPU dapat menyebar hingga ke lapisan masyarakat terbawah, menciptakan harmoni dan persatuan di tengah keberagaman agama dan budaya.
"Sahabat-sahabat sekalian, mudah-mudahan doakan saya, saya masih kuat juga untuk tetap di luar tetapi saya jalan bantu, sama juga pak Yong yaa.. Yonggris, masih semangat to untuk moderasinya"
Sapa Puang Makka kepada sahabatnya Dr. Ir. Yonggris., M.M, Ketua Permabudhi Sulsel di akhir testimoni.