Gerakan Kedaulatan Budaya 2025 kembali menggelar Dialog Budaya yang kali ini dirangkaikan dengan buka puasa bersama. Bertempat di Aula Tribun Timur, Makassar, Kamis (6/3/2025).
Diskusi ini mengangkat tema “Tradisi Berpuasa dalam Berbagai Agama” dengan menghadirkan tokoh lintas agama dan budayawan terkemuka. Acara ini merupakan inisiatif Dr. Halilintar Latief, seorang budayawan dan penulis novel sejarah Sang Pembebas.
Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian acara sepanjang tahun yang bertujuan menggugah semangat nasionalisme dan persatuan. Prof. Andi Halilintar Latief menegaskan bahwa sejarah dan budaya harus dijaga sebagai bagian dari identitas bangsa. “Setiap minggu kita ada dialog budaya, lalu di antara itu ada peringatan hari-hari sejarah yang akan dirayakan melalui berbagai pagelaran,” ujarnya.
Dalam sesi diskusi ini, hadir sejumlah narasumber lintas agama yang memberikan perspektif masing-masing mengenai tradisi puasa. Mereka adalah Darius Allo Tangko (perwakilan Katolik), KH. Syekh Sayid A. Rahim Assagaf Puang Makka (perwakilan Islam), serta Dr. Ir. Yonggris, M.M. (Ketua Permabudhi Sulsel).
Salah satu sesi menarik dalam Dialog Budaya #8 ini adalah pemaparan Dr. Ir. Yonggris, M.M., Ketua Permabudhi Sulsel, yang membahas tradisi puasa dalam agama Buddha. Ia menjelaskan bahwa praktik puasa dalam Buddhisme bukan sekadar menahan lapar, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai latihan pengendalian diri dan peningkatan kualitas batin.
“Jauh sebelum Siddharta Gautama (abad ke-5 SM) mengamalkan puasa Atthasila (Delapan Sila), puasa menjadi tradisi atau peradaban tua yang memiliki makna dan maaftaat yang begitu dalam,” Ungkapnya. Ia menambahkan bahwa puasa bagi umat Buddha bukan hanya ritual fisik, tetapi juga merupakan cara untuk mencapai keseimbangan dan pencerahan.
Dalam perjalanan spiritualnya, sebelum mencapai ke-Buddha-an, Siddharta Gautama bertapa dan berpuasa di bawah Pohon Bodhi. “Saking kurusnya, konon perut dan punggung Siddharta seolah menyatu karena menahan segala nikmat duniawi,” jelasnya.

Dalam ajaran Buddha, konsep Jalan Tengah menjadi prinsip utama. Buddhisme mengajarkan keseimbangan dalam hidup, menghindari dua ekstrem: kesenangan duniawi berlebihan dan penyiksaan diri. Oleh karena itu, puasa dalam Buddhisme bukan semata-mata soal menahan lapar, melainkan disiplin diri.
Puasa dalam Buddhisme dikenal dengan Uposatha Sila atau Atthasila, yang merupakan latihan spiritual yang dilakukan secara rutin, terutama pada hari-hari suci Buddhis (Uposatha). Atthasila mencakup delapan sila atau aturan moral yang meliputi larangan membunuh, mencuri, berbohong, serta tidak makan setelah tengah hari.




Dr. Yonggris menjelaskan bahwa puasa dalam Buddhisme juga dilakukan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. “Orang yang berpuasa akan mendapatkan manfaat fisik dan batin. Dengan mengontrol pola makan dan menghindari keserakahan, kita bisa melatih diri untuk hidup lebih sederhana dan sehat,” paparnya.
Menariknya, umat Buddha biasanya berpuasa pada hari-hari tertentu seperti bulan purnama dan bulan terang. “Pada saat-saat itu, alam menunjukkan perubahan yang signifikan—air laut naik, perilaku hewan berubah, dan inilah kesempatan bagi kita untuk lebih banyak berbuat baik,” tambahnya.
Dr. Yonggris juga menekankan bahwa puasa di Buddhisme dapat dilakukan lebih dari dua kali dalam sebulan, tergantung pada keinginan individu untuk meningkatkan kualitas hidup spiritualnya. “Kita manusia ini sangat bahagia jika tahu cara mengendalikan pikiran,” ujarnya.
Dalam acara ini, puluhan organisasi lintas agama, budaya, komunitas sosial dan media turut mendukung dialog budaya. Diskusi lintas agama semacam ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman antarumat beragama serta meneguhkan kembali semangat kebersamaan dalam keberagaman.
Dialog Budaya ini menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk mengenal lebih dalam nilai-nilai spiritual yang ada dalam berbagai agama. Dengan memahami praktik keagamaan lain, diharapkan toleransi dan harmoni dapat terus terjaga di tengah keberagaman bangsa Indonesia.