Menu

Mode Gelap
Permabudhi Sulsel Suarakan Relevansi Agama dalam Hukum Humaniter di Universitas Bosowa Hadiri Musprov PSMTI Sulsel, Permabudhi Sulsel : Sinergi Berkarya untuk Bangsa Permabudhi Sulsel Sukses Gelar Kemah Merdeka: Merawat Kebersamaan, Mencintai Tanah Air Pemuda Buddhis Sulsel Tegaskan Komitmen Kebangsaan lewat Deklarasi Cinta Permabudhi Sulsel Raih Juara 3 Turnamen Tenis Meja Lintas Agama Semarak HUT ke-80 RI, Ketua Permabudhi Sulsel Serukan Cinta Tanah & Air Sejak Dini

Opini

Persekusi dan Kerusuhan Chittagong : Simbol Krisis Keberagaman di Bangladesh

badge-check


					Ketua Sangha Bhikkhu Parbatya, Y.M. Shraddhalankar Mahathera berbicara pada konferensi media. Foto: prothomalo.com Perbesar

Ketua Sangha Bhikkhu Parbatya, Y.M. Shraddhalankar Mahathera berbicara pada konferensi media. Foto: prothomalo.com

Wilayah Chittagong Hill Tracts (CHT) di tenggara Bangladesh telah lama menjadi rumah bagi lebih dari 11 komunitas pribumi, yang sebagian besar beragama Buddha Theravada. Namun, meski kaya akan budaya dan tradisi, kawasan yang berbatasan langsung dengan Myanmar dan India ini terus dibayangi oleh persekusi dan kekerasan yang mengancam kehidupan sehari-hari penduduknya.

Keadaan yang semakin memburuk ini mendorong para pemimpin komunitas Buddha untuk mengambil keputusan mengejutkan tahun ini: pembatalan perayaan Kathina Civara Dana di seluruh wilayah. Festival tahunan ini, yang sangat bermakna bagi umat Buddha sebagai momen persembahan jubah kepada para bhikkhu, akhirnya dibatalkan demi alasan keamanan.

Sejak tahun 1992, kekerasan sporadis yang dilakukan oleh kelompok etnis Bengali pendatang telah berlangsung di Chittagong Hill Tracts. Serangan ini sering kali menyasar komunitas pribumi yang mayoritas beragama Buddha, dengan tindak kekerasan seperti pembakaran rumah, penjarahan, dan bahkan pembunuhan.

Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa penyerangan terhadap penduduk asli CHT sering diduga melibatkan dukungan militer, yang memperparah situasi dan menimbulkan ketakutan yang mendalam di antara warga Buddha setempat. Kekerasan ini meningkat pada September dan awal Oktober tahun ini, mengakibatkan korban jiwa serta kerusakan besar pada properti dan tempat ibadah.

Sensus terbaru pada 2022 mencatat bahwa wilayah CHT memiliki populasi Buddha terbesar di Distrik Rangamati (57,25%), diikuti oleh Khagrachhari (35,93%) dan Bandarban (29,53%). Meski demikian, komunitas ini tetap menghadapi ancaman terhadap keberlangsungan hidup dan tradisi mereka. Kemiskinan yang meluas, akses pendidikan yang terbatas, serta kurangnya perhatian pemerintah menjadikan masyarakat Buddha pribumi di CHT rentan terhadap diskriminasi dan persekusi.

Selain itu, penduduk asli sering menjadi sasaran ekstremis Bengali pendatang dan juga misionaris dari agama lain, yang mengakibatkan ketegangan sosial yang berkepanjangan. Pada konferensi pers yang diadakan di Vihara Maitiri, Rangamati, para bhikkhu dari 15 organisasi monastik di CHT mengumumkan keputusan pembatalan perayaan Kathina Civara Dana.

Mereka menjelaskan bahwa situasi keamanan yang memburuk, dengan aksi kekerasan yang ditujukan pada warga pribumi, membuat mereka tidak bisa merayakan festival tersebut dengan tenang.

“Dalam situasi seperti ini, kami terpaksa mengambil keputusan bersama untuk tidak melaksanakan program Kathina Civara Dana tahun ini,” ungkap Y.M. Shraddhalankar Mahathera, Ketua Bhikkhu Sangha Parbatya. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Vihara Rangamati Rajban, vihara terbesar di CHT.

Kekerasan yang terjadi di CHT belakangan ini dimulai pada 18 September, ketika pembunuhan seorang pemuda Bengali bernama Mamun memicu amarah di kalangan pendatang etnis Bengali. Meskipun komunitas Buddha setempat membantah keterlibatan mereka dalam insiden tersebut, amarah massa menyebar ke Distrik Rangamati, mengakibatkan pembakaran, penjarahan, dan perusakan vihara serta rupaka Buddha.

Insiden ini menewaskan empat warga adat dan menyebabkan banyak lainnya terluka. Meski Deputi Komisioner Distrik Rangamati, Mosharraf Hossain Khan, telah mendesak para bhikkhu untuk mempertimbangkan kembali pembatalan Kathina, mereka tetap teguh pada keputusan tersebut.

“Kami merasa sangat tidak aman setelah serangan yang ditargetkan terhadap rumah-rumah dan tempat ibadah milik etnis minoritas,” jelas Y.M. Prajna Jyoti dalam konferensi pers.

Meskipun berbagai upaya hukum telah dilakukan, termasuk pembentukan komite penyelidikan, para bhikkhu menyatakan kekecewaan atas minimnya tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan. Kondisi ini memperkuat keyakinan mereka bahwa kehidupan umat Buddha di CHT terus terancam, dan bahwa mereka tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari pemerintah.

Situasi yang memprihatinkan ini tidak hanya menghambat kebebasan beragama, tetapi juga menyoroti diskriminasi yang sudah berlangsung lama terhadap komunitas pribumi di Bangladesh. Krisis yang dialami umat Buddha di CHT menegaskan perlunya perhatian dan aksi dari dunia internasional terhadap persekusi yang berlangsung di wilayah ini.

Kathina Civara Dana, yang biasa dirayakan sebagai momen persembahan jubah dan kedermawanan kepada para bhikkhu setelah retret musim hujan, pada tahun ini telah berubah menjadi pengingat pahit akan persekusi yang berkelanjutan di CHT.

Peristiwa ini bukan hanya menghilangkan momen keagamaan bagi komunitas Buddha di Bangladesh, tetapi juga menjadi simbol perjuangan mereka untuk keamanan dan hak hidup yang damai di tanah mereka sendiri.

Baca Lainnya

Refleksi Hari Kebesaran Dewa Kwan Kong, Ardian Cangianto : Apa yang Kita Warisi?

18 Juli 2025 - 03:03 WITA

Dr. Yonggris : Keseimbangan Spiritualitas dan Kemanusiaan Adalah Jiwa Bulan Bakti Permabudhi

12 Mei 2025 - 04:39 WITA

Deklarasi Istiglal: Tonggak Penting Kehidupan Beragama untuk Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup

2 Januari 2025 - 01:29 WITA

Kemah Orang Muda Lintas Iman Batch 2: Suatu Langkah Maju Menuju Indonesia Inklusif

29 Oktober 2024 - 09:39 WITA

Ketua Permabudhi Sulsel: IKN sebagai Ikon Kerukunan dan Simbol Persatuan Nasional

26 September 2024 - 07:26 WITA

Trending di Opini