Bagian 1 dari 2
Di balik fasad bangunan vihara yang menjulang megah dan khusyuknya umat menjalankan ritual keagamaan, tersembunyi praktik-praktik gelap yang menggerogoti kepercayaan umat. Aset-aset vihara, yang seharusnya menjadi milik bersama dan diperuntukkan bagi kepentingan spiritual dan sosial umat, justru disalahgunakan oleh segelintir oknum yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Donasi umat yang terkumpul dengan tulus, alih-alih digunakan untuk pembangunan tempat ibadah, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, atau program sosial, malah dialirkan ke kantong-kantong pribadi untuk membiayai gaya hidup mewah, pembelian aset pribadi, atau proyek-proyek bisnis yang tidak relevan. Praktik ini bukan hanya merugikan umat secara materiil, namun juga menggerogoti kepercayaan mereka terhadap lembaga keagamaan dan para pengurusnya. Ketidaktransparanan dalam pengelolaan keuangan vihara, lemahnya pengawasan, serta adanya konflik kepentingan menjadi celah bagi oknum-oknum tersebut untuk melakukan tindakan yang merugikan. Kasus penyalahgunaan aset vihara ini bukan hanya terjadi di satu atau dua tempat, namun menjadi fenomena yang cukup meluas dan mengkhawatirkan. Kondisi ini mendesak kita semua, baik umat, pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat, untuk bersatu melawan praktik-praktik koruptif ini dan memastikan bahwa aset-aset keagamaan dikelola dengan transparan, akuntabel, dan benar-benar untuk kepentingan umat.
Kasus penyalahgunaan aset vihara di Indonesia bukanlah hal baru. Sejumlah kasus telah terungkap ke permukaan, mulai dari penggelapan dana umat, penjualan aset vihara secara ilegal, hingga konflik internal yang berujung pada perebutan aset. Modus operandinya pun beragam, mulai dari manipulasi data keuangan, pemalsuan dokumen, hingga penggunaan kekerasan. Kasus-kasus ini tidak hanya merugikan umat secara finansial, namun juga merusak kepercayaan mereka terhadap lembaga keagamaan. Salah satu contoh kasus yang cukup menonjol adalah kasus sengketa lahan vihara di Jakarta Barat beberapa waktu lalu, di mana terjadi dugaan perampasan aset secara paksa oleh pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Kasus ini menyoroti betapa rentannya aset-aset keagamaan terhadap ancaman dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Masalah sengketa warisan terkait aset vihara merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan aset keagamaan di Indonesia. Ketika pengurus vihara yang mengatasnamakan aset tersebut meninggal dunia, muncullah berbagai persoalan pelik yang berpotensi mengguncang stabilitas komunitas umat.
Mengapa Sengketa Warisan Sering Terjadi?
- Ketidakjelasan Status Kepemilikan: Seringkali, status kepemilikan aset vihara tidak tercatat dengan jelas dan formal. Aset-aset ini seringkali didaftarkan atas nama pribadi pengurus, bukan atas nama lembaga keagamaan atau yayasan. Hal ini membuka peluang bagi ahli waris untuk mengklaim kepemilikan atas aset tersebut.
- Kurangnya Dokumen Pendukung: Dokumen-dokumen penting seperti akta pendirian, akta hibah, dan surat-surat kepemilikan lainnya seringkali tidak lengkap atau tidak tersimpan dengan baik. Hal ini menyulitkan dalam membuktikan kepemilikan yang sah atas aset vihara.
- Konflik Internal: Konflik internal di dalam komunitas vihara dapat memicu sengketa warisan. Perbedaan pendapat mengenai pengelolaan aset, kepemimpinan, atau arah pengembangan vihara dapat memicu perpecahan dan perebutan kekuasaan.
- Intervensi Pihak Luar: Pihak-pihak luar yang tidak memiliki hubungan langsung dengan vihara, seperti pengembang properti atau kelompok kepentingan lainnya, seringkali mencoba untuk mengambil alih aset vihara dengan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan celah hukum atau melakukan intimidasi.
Dampak Sengketa Warisan terhadap Vihara
Sengketa warisan atas aset vihara bukan sekadar perselisihan hukum belaka, melainkan sebuah luka mendalam yang dapat merusak tatanan sosial dan spiritual komunitas umat. Ketika terjadi pertikaian terkait kepemilikan tempat ibadah, yang pertama kali menjadi korban adalah kegiatan keagamaan itu sendiri. Ritual-ritual suci, perayaan keagamaan, dan aktivitas sosial yang selama ini menjadi perekat persatuan umat dapat terhenti atau terganggu secara signifikan. Lebih jauh lagi, sengketa ini dapat memicu perpecahan yang dalam di antara umat, merusak hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun, dan menghancurkan rasa persaudaraan yang selama ini menjadi pondasi kekuatan komunitas. Tak hanya itu, aset-aset bersejarah yang melekat pada vihara, seperti patung-patung suci, kitab-kitab kuno, atau bangunan berarsitektur unik, juga turut menjadi korban. Barang-barang berharga ini seringkali hilang, rusak, atau bahkan dijual secara ilegal akibat sengketa. Kondisi yang kacau akibat sengketa warisan juga membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil alih aset vihara dan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini tidak hanya merugikan umat secara materiil, tetapi juga mengkhianati kepercayaan mereka terhadap lembaga keagamaan. Dalam jangka panjang, sengketa warisan dapat melemahkan posisi vihara sebagai pusat spiritual dan sosial dalam masyarakat, dan bahkan dapat mengancam kelangsungan eksistensi vihara itu sendiri.

Di balik tembok-tembok tebal yang seharusnya melindungi nilai-nilai spiritualitas, tersimpan luka yang lebih dalam dari sekadar harta yang diperebutkan. Ketamakan oknum-oknum yang tak segan mencengkeram kekuasaan dan harta dengan dalih agama, perlahan-lahan menghancurkan pondasi moral yang selama ini dibangun dengan kesucian. Bagaimana mungkin vihara, yang menjadi simbol kedamaian dan kebersamaan, kini menjadi arena pertarungan kepentingan pribadi? Sementara umat terus berharap pada harapan yang semakin pudar, mereka disuguhi drama murahan penuh manipulasi dan kebohongan.
Lebih menyakitkan lagi, di balik setiap ritual yang dilakukan dengan khusyuk, di balik doa-doa yang dilantunkan dengan penuh keikhlasan, ada orang-orang yang menghitung keuntungan pribadi dari uang donasi umat. Uang yang seharusnya digunakan untuk memajukan kesejahteraan bersama, diam-diam dialirkan ke rekening pribadi untuk membiayai kehidupan yang bertolak belakang dengan ajaran spiritualitas. Ketika pengurus vihara memilih diam, umat kehilangan kepercayaan. Bukan hanya materi yang dicuri, tapi kepercayaan yang direbut secara keji.
Sengketa warisan dan perebutan aset hanya puncak gunung es dari ketamakan yang tersembunyi. Ketika harta benda menjadi tujuan, spiritualitas hanya akan menjadi alat. Namun, yang lebih mengerikan adalah kehancuran moral yang ditinggalkan, ketika umat mulai meragukan integritas dari lembaga yang seharusnya menjadi cahaya penuntun.