Dalam ajaran agama Buddha, konsep “belantara dalam pikiran” (manoramaṇīya-vana) memegang peranan penting dalam pencapaian kedamaian batin dan pencerahan. Istilah ini merujuk pada keadaan pikiran yang dipenuhi dengan nafsu, kebencian, dan kebingungan – sebuah “belantara” yang menghalangi kita untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Salah satu sutta (khotbah) yang mengupas tema ini adalah Kakacūpama Sutta dari Majjhima Nikāya. Dalam sutta ini, Sang Buddha menggunakan perumpamaan potongan kayu untuk menggambarkan betapa sulit dan menyakitkannya ketika pikiran dipenuhi oleh kekotoran batin:
“Bayangkan, para bhikkhu, seorang pria datang dengan sebilah kapak tajam dan berkata, ‘Saya akan memotong habis hutan belantara ini hingga ke akar-akarnya.’ Apa yang kamu pikirkan, para bhikkhu? Apakah hutan belantara itu akan musnah karena kapak itu?”
Para bhikkhu menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Meskipun pria itu terus memotong, hutan belantara itu akan tetap ada, karena akar-akarnya dalam dan meluas.”
Sang Buddha kemudian menjelaskan bahwa pikiran yang dipenuhi oleh nafsu, kebencian, dan kebingungan serupa dengan hutan belantara itu. Hanya dengan melatih perhatian dan kebijaksanaan yang mendalam, kita dapat membebaskan diri dari belantara batin ini.
Sutta lain yang relevan adalah Gaṇḍa Sutta, yang menggambarkan bagaimana nafsu, kebencian, dan kebingungan bagai penyakit yang harus disembuhkan melalui praktik Dhamma. Sang Buddha menegaskan bahwa dengan melepaskan diri dari belantara batin, kita dapat mencapai ketenangan, kebahagiaan, dan pemahaman yang mendalam.
Melalui pemahaman dan praktik ajaran Buddha, kita dapat menemukan jalan keluar dari belantara pikiran kita sendiri. Dengan memupuk sifat-sifat luhur seperti kesabaran, cinta kasih, dan kebijaksanaan, kita dapat membersihkan pikiran dan mencapai ketenangan batin yang abadi.
