Kekerasan di ruang pendidikan bukan sekadar persoalan pelanggaran aturan, melainkan cermin dari krisis cara pandang kita terhadap pendidikan itu sendiri. Ketika sekolah masih memaklumi hukuman fisik, tekanan verbal, atau intimidasi psikologis atas nama disiplin, sesungguhnya kita sedang menormalisasi kekerasan sebagai metode mendidik. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya.
Di tengah situasi tersebut, gagasan disiplin positif menjadi tawaran penting untuk mengoreksi arah pendidikan kita. Pendekatan ini tidak berangkat dari logika hukuman dan hadiah, melainkan dari kepercayaan bahwa anak mampu belajar mengelola diri, memahami konsekuensi, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Disiplin bukan lagi alat kontrol, tetapi proses pembentukan kesadaran.
“Disiplin positif adalah pendekatan mendidik yang berfokus pada membentuk karakter anak melalui kontrol diri dan kepercayaan diri, tanpa menggunakan hukuman atau hadiah,” ungkap Hasdy, S.Si., M.Si., pegiat pendidikan yang juga pengurus Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan. Pernyataan ini ia sampaikan dalam forum Education for Peace (EFP) – Implementasi Makassar 2 yang digelar di Ruang Pelatihan Sekolah Islam Athirah, Makassar, Sabtu (15/11/2025).
Pandangan Hasdy menegaskan bahwa kekerasan di sekolah tidak lahir dalam ruang hampa. Ia sering kali berakar dari relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid, serta dari anggapan bahwa ketertiban hanya dapat ditegakkan melalui rasa takut. Dalam praktiknya, pendekatan semacam ini justru melahirkan kepatuhan semu, menekan ekspresi anak, dan menyisakan trauma yang panjang.
Sebagai pegiat pendidikan dari kalangan Buddhis, Hasdy membawa perspektif etika yang menempatkan welas asih dan tanpa kekerasan sebagai fondasi pendidikan. Nilai-nilai ini bukan sekadar ajaran keagamaan, melainkan prinsip universal kemanusiaan yang relevan dalam konteks masyarakat majemuk. Pendidikan yang berangkat dari welas asih memandang anak bukan sebagai objek yang harus dikendalikan, melainkan subjek yang perlu dipahami dan didampingi.
Dalam kerangka ini, guru memiliki peran strategis sebagai penjaga perdamaian di sekolah. Guru bukan hanya pengajar materi pelajaran, tetapi figur teladan dalam mengelola konflik, emosi, dan perbedaan. Ketika guru memilih dialog alih-alih hukuman, empati alih-alih intimidasi, di situlah pendidikan damai benar-benar dipraktikkan.
Forum Education for Peace menjadi ruang penting untuk menguatkan kesadaran tersebut. Ia mengingatkan bahwa membangun sekolah aman tidak cukup dengan regulasi atau slogan anti-kekerasan, tetapi membutuhkan perubahan paradigma dan keberanian untuk meninggalkan praktik lama yang tidak manusiawi. Pendidikan damai harus hadir dalam kebijakan sekolah, metode pengajaran, hingga cara kita memandang anak.

Di tengah meningkatnya kasus kekerasan di ruang pendidikan, suara-suara seperti yang disampaikan Hasdy menjadi penanda bahwa transformasi pendidikan membutuhkan keterlibatan lintas komunitas dan nilai. Kehadiran pegiat Buddhis dalam diskursus pendidikan damai memperkaya perspektif, sekaligus menegaskan bahwa isu pendidikan adalah isu kemanusiaan bersama.
Pada akhirnya, disiplin positif bukan sekadar metode, melainkan sikap etis dalam mendidik. Ia mengajak kita meneguhkan kembali makna pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Tanpa itu, sekolah berisiko kehilangan jiwanya—dan anak-anak kehilangan ruang aman untuk bertumbuh.







