Seminar Internasional bertajuk “Jalur Sutra: Warisan Inklusivitas dan Harmoni Antarbudaya & Agama” yang digelar oleh Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan menjadi ruang refleksi penting bagi penguatan nilai-nilai kebangsaan di tengah keberagaman. Salah satu penekanan utama datang dari Sumarjo, S.Ag., M.M., Pembimas Buddha Sulawesi Selatan, yang menegaskan bahwa Jalur Sutra adalah simbol peradaban damai yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.
Dalam sambutannya, Sumarjo menyoroti pentingnya belajar dari sejarah Jalur Sutra—bukan sekadar memahami masa lalu, melainkan menanamkan nilai toleransi dalam konteks kekinian. “Mempelajari perbedaan budaya, bahasa, dan keyakinan bukan menjadi penghalang untuk hidup berdampingan secara damai. Di Indonesia, kita memiliki enam agama yang diakui dan dapat hidup harmoni di bawah naungan Pancasila,” ujarnya.
Kegiatan yang berlangsung di Hotel Aston, Makassar, ini dihadiri lebih dari 230 peserta dari berbagai kalangan: akademisi, tokoh agama lintas iman, pengurus vihara, cetiya dan klenteng, organisasi kemahasiswaan, komunitas budaya, serta pemuka lintas kepercayaan. Seminar menghadirkan narasumber utama Prof. Zheng Shaocong dari Chinese Academy of Social Sciences (CASS), Beijing, pakar diaspora Tionghoa dan antropologi sosial.




Sumarjo menambahkan bahwa di tengah pesatnya arus globalisasi dan polarisasi identitas, dialog semacam ini memperkuat kesadaran bersama bahwa “keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman”. Ia mengajak seluruh peserta untuk menjadikan spirit Jalur Sutra sebagai inspirasi dalam merawat persatuan di Sulawesi Selatan, terutama di kota Makassar sebagai simpul kebudayaan Timur Indonesia.
Ketua Permabudhi Sulsel, Dr. Ir. Yonggris, M.M., dalam sambutannya juga menggarisbawahi bahwa “kita belajar sejarah bukan hanya untuk mengetahui masa lalu, tetapi untuk memahami masa kini dan membentuk masa depan.” Ia menilai bahwa hari ini kita sedang menempuh Jalur Sutra baru: jalur digital yang menyatukan manusia melalui teknologi, namun tetap membutuhkan semangat saling menghormati dan kolaborasi lintas budaya.
Selain Prof. Zheng, hadir pula para akademisi dari Tiongkok seperti Prof. Xia Yuqing (Universitas Normal Yunnan) dan Dr. Li Shanlong (Universitas Fuzhou), serta Ardian Cangianto, M.Fil., peneliti budaya Tionghoa dari Semarang yang bertindak sebagai moderator.
Melalui seminar ini, Permabudhi Sulsel bersama mitra dari Tiongkok dan San Ping Academy menyampaikan pesan kuat: warisan Jalur Sutra bukan hanya milik masa lampau, melainkan jembatan harapan bagi dunia yang damai, inklusif, dan manusiawi.
