Di tengah derasnya arus globalisasi dan identitas yang semakin cair, ada sosok yang tetap menjadi jangkar bagi nilai-nilai luhur: Dewa Kwan Kong (Guan Yu). Dihormati sebagai dewa militer, pelindung keadilan, dan simbol integritas, Kwan Kong bukan hanya figur keagamaan, tetapi juga teladan moral yang melintasi sekat budaya dan kebangsaan.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kwan Kong, kita diingatkan kembali bahwa nasionalisme bukan semata soal tanah kelahiran, tapi tentang komitmen untuk menjaga keadilan di tanah tempat kita berpijak.
Perayaan ini seharusnya tidak hanya menjadi seremoni, tetapi juga menjadi momen kontemplasi: Apa sebenarnya yang diwariskan oleh figur seperti Kwan Kong kepada generasi hari ini? Bagaimana keteladanannya bisa menjawab tantangan kebangsaan dan kemanusiaan di era kini?
“Setiap bangsa itu kan perlu figur untuk menunjukkan keteladanan mereka dalam hal berbangsa dan bernegara. Kwan Kong ini menjadi satu figur yang dikaitkan dengan kesetiaan kepada negara,” tegas Adrian Cangianto, peneliti budaya Tionghoa dan Taoist Indonesia yang juga aktif menulis dan berdiskusi tentang makna-makna tradisi dalam konteks modern. Ia dikenal luas dalam kalangan komunitas Tionghoa sebagai figur intelektual yang konsisten mengangkat nilai-nilai luhur dari budaya dan kepercayaan Tionghoa ke ranah kebangsaan.
Dalam Sutra Kwan Shen Ti Cin, Kwan Kong bersabda:
“Manusia di dunia, wajib sepenuhnya menghargai kesetiaan, berbakti dan keadilan. Maka tidak malu dia menjadi seorang manusia, bisa berdiri tegak di antara langit dan bumi.”
Kesetiaan dalam ajaran Kwan Kong bukan kesetiaan buta. Ia berpijak pada keadilan. Spirit itu menjelma dalam tindakan: menghormati hukum, mencintai sesama, menjaga keluarga, dan membela tanah air. Kwan Kong mengajarkan bahwa:

“Bila hati tidak merasa bersalah, tetaplah lakukan. Tapi bila demi untung tapi hati merasa bersalah, tinggalkanlah.”
Inilah bentuk nasionalisme sejati, kesetiaan yang bertanggung jawab, bukan sekadar simbolis.





Adrian melanjutkan, “Permasalahannya, sebagian orang menganggap bahwa kesetiaan kepada negara itu kesetiaan pada negeri leluhur. Tapi kalau kita mengkaji filsafat lebih mendalam, gak seperti itu, gak terkait dengan negeri leluhur tapi terkait dengan batasan wilayah tempat dia tinggal.”
Refleksi ini mengajak kita untuk meninjau ulang makna nasionalisme, terutama di tengah realitas multikultural. Bahwa mencintai tanah air bukanlah soal darah dan warisan, tetapi soal keberpihakan pada nilai-nilai yang menegakkan keadilan, integritas, dan solidaritas sosial.
Artinya, bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, loyalitas sejati bukan tertambat pada masa lalu leluhur, melainkan pada tanah air di mana mereka hidup dan berkarya. “Kalau kita tempatkan di Indonesia,” lanjutnya, “berarti semua warga Tionghoa di Indonesia wajib mempertahankan NKRI. Itu inti besarnya.”
Nilai-nilai dalam Sutra Kwan Kong menguatkan semangat ini. Menghargai sesama, tidak mengadu domba, tidak mengajak orang lain berbuat jahat, menolong yang lemah, membangun fasilitas umum, mencetak kitab suci, hingga menjaga kelestarian lingkungan, semuanya adalah bentuk nyata dari cinta tanah air.
Kwan Kong mengingatkan:
“Kalau kita menyimpan pikiran jahat dan tidak melakukan perbuatan baik, maka karma buruk akan datang. Jika tidak pada diri sendiri, maka pada anak cucu.”
Di tengah berbagai tantangan bangsa dari krisis integritas hingga ketimpangan sosial, keteladanan seperti Kwan Kong sangat relevan. “Spirit nasionalisme itu yang harus diteladani, spirit itu bukan berkaitan dengan negeri leluhur tapi keterkaitan tentang di mana kita tinggal,” kata Adrian. “Passport saya hijau, berarti loyalitas saya harus terikat dengan NKRI.”
Dalam tradisi Taois, pemujaan pada tokoh berjasa seperti Kwan Kong bukan kultus personal, melainkan penghormatan pada nilai. Kwan Kong dihormati bukan karena asal-usulnya, tapi karena keberanian, kejujuran, dan keadilannya. Ia menjadi simbol bahwa pemimpin yang adil akan menuai kesetiaan, dan rakyat yang setia berhak mendapat keadilan.
“Seseorang bisa setia dengan siapapun asalkan dia diberi keadilan… prinsip kesetiaan itu selalu dikaitkan dengan keadilan,” ujar Adrian. “Kita sebagai warga negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus melihat banyak problem di republik kita yang berkaitan dengan keadilan. Paling gampang: keadilan sosial, keadilan hukum, dll.”
Refleksi Hari Kebesaran Kwan Kong pada akhirnya bukan hanya tentang menghormati masa lalu, tetapi juga menumbuhkan harapan dan keberanian moral untuk menghadapi masa depan. Bahwa nilai-nilai yang diwariskan Kwan Kong : keadilan, kesetiaan, dan integritas bisa menjadi fondasi peradaban baru yang lebih manusiawi dan beradab.
“Semua perbuatan baik harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Biarpun tidak ada orang yang melihat, para dewa mengetahuinya,” sabda Kwan Kong dalam Sutra Kwan Shen Ti Cin.
Sebuah pesan suci yang makin relevan di era sekarang: di mana integritas menjadi langka, dan kesetiaan kadang ditukar dengan keuntungan sesaat. Mungkin inilah warisan paling berharga dari Kwan Kong bahwa menjadi manusia sepenuhnya adalah tetap berdiri tegak, bahkan ketika tak ada yang melihat.